Bahasa Indonesia Course Bali
Bahasa Indonesia-nya kata: Ajengan (Bahasa Bali)
Berikut terjemahan dari kata
Bahasa Indonesia-nya kata Ajengan: santapan;
Cari terjemahan bahasa bali lainnya di
Dari Wikikamus bahasa Indonesia, kamus bebas
Berikut ini adalah daftar Swadesh untuk bahasa Bali, dibandingkan dengan definisi dalam bahasa Indonesia. Entri Ethnologue untuk bahasa Bali: ban.
Daftar kata Swadesh adalah daftar yang dikembangkan oleh seorang linguis bernama Morris Swadesh. Daftar ini digunakan sebagai alat pembelajaran tentang evolusi bahasa. Daftar ini mengandung satu set kata-kata dasar yang dapat ditemukan di hampir semua bahasa. Daftar ini tersedia dalam berbagai variasi, antara lain:
Beberapa versi lebih dapat diandalkan dari versi-versi lainnya dalam hal universalitas kemunculan kata tersebut.
(Daftar kata ini tidak digunakan sebagai leksikon dasar untuk berkomunikasi dengan penutur bahasa tersebut; jika Anda mencari hal tersebut, gunakan referensi-referensi yang ada di Wikivoyage.)
Bahasa Indonesia-nya kata: ring ajeng (Bahasa Bali)
Berikut terjemahan dari kata
Bahasa Indonesia-nya kata ring ajeng: di depan
Cari terjemahan bahasa bali lainnya di
Barong Bali adalah satu di antara begitu banyak ragam seni pertunjukan Bali. Barong merupakan sebuah tarian tradisional Bali yang ditandai dengan Topeng dan kostum badan yang dapat dikenakan oleh satu atau dua orang untuk menarikannya. Di Bali ada beberapa jenis barong yakni Barong Ket, Barong Bangkal, Barong Landung, Barong Macan, Barong Gajah, Barong Asu, Barong Brutuk, Barong Lembu, Barong Kedingkling, Barong Kambing, dan Barong Gagombrangan.[1]
Barong bali berasal sebagai perkembangan dari barong ponorogo atau Reog, yang oleh raja Airlangga dibawa saat mengungsi ke pulau Bali untuk menyelamatkan diri. Selain Barong Ponorogo, Airlangga juga membawa bentuk-bentuk seni sastra, aksara jawa, serta ritual keagamaan.
Pengaruh yang di dapat pada barong Bali bisa di lihat pada bentuk barong ponorogo saat tampil tanpa mahkota merak (Kucingan) dan pada Topeng Rangda yang mendapat pengaruh dari topeng bujang ganong. Serta kelompok orang yang mendalami ilmu kesaktian pada orang tua yang mendapat pengaruh pada perilaku kegiatan nyata warok muda dan warok tua yang sakti mandraguna yang saat ini masih terjaga di Ponorogo, meskipun kegiatan tersebut saat ini tertutup untuk kalangan tertentu.
Dengan begitu, muncul jenis barong bali dengan berbagai kepala hewan seperti Babi, Gajah, Anjing dan Burung yang menjadi kebanggaan tiap-tiap kota di bali.
Di sisi lain, Tari topeng Barong, bersama dengan tarian sanghyang dianggap sebagai tarian asli Bali, mendahului pengaruh Hindu. Penduduk asli Indonesia dari warisan Austronesia sering memiliki tarian topeng serupa yang mewakili roh leluhur atau alam; contohnya Dayak dengan tarian Hudoq atau latihan pemujaan beruang yang serupa. Istilah barong diduga berasal dari istilah lokal bahruang, yang saat ini sesuai dengan kata Indonesia yang berarti "beruang".[2] Ini mengacu pada roh yang baik, yang berwujud binatang sebagai penjaga hutan.[3]
Dalam mitologi Bali, roh baik diidentifikasi sebagai Banas Pati Raja. Banas Pati Raja adalah "saudara" keempat atau anak roh yang menemani seorang anak sepanjang hidup mereka, yang konsepnya mirip dengan malaikat pelindung. Banas Pati Raja adalah roh yang menjiwai Barong. Seorang roh pelindung, ia sering digambarkan sebagai singa. Barong sering digambarkan ditemani dua kera.
Barong digambarkan sebagai singa dengan kepala merah, ditutupi bulu putih tebal, dan mengenakan perhiasan berlapis emas yang dihiasi dengan potongan-potongan cermin. Bentuk singa Barong agak mirip dengan anjing Pekingese. Asal usul Barong jauh ke belakang dan tidak pasti. Asal-usulnya bisa dari pemujaan animisme, sebelum agama Hindu muncul, ketika penduduk desa masih percaya pada kekuatan pelindung supranatural hewan.[4]
Dalam konsep keagamaan, Barong diartikan dalam dua kata bar/bor dan ong. Bor disebut sebagai poros, sedangkan ong merupakan sebutan untuk Tuhan Yang Maha Esa. Dalam hal ini, Ida Sang Hyang Widhi dimanifestasikan dalam wujud Bhatara Wisnu sebagai Maha Pemelihara yang menjaga kehidupan di atas dan di bawah langit.[5]
Masyarakat Bali percaya bahwa roh tersebut adalah kaki tangan Ratu Gede Macaling, penguasa alam gaib di Lautan Selatan Bali yang beristana di Pura Dalem Ped, Nusa Penida. Saat itu, seorang pendeta sakti menyarankan masyarakat untuk membuat patung yang mirip Ratu Gede Mecaling, yang sosoknya tinggi besar, hitam dan bertaring, lalu mengaraknya keliling desa. Rupanya, tipuan ini manjur. Para mahluk halus ketakutan melihat bentuk tiruan bos mereka, lalu menyingkir. Hingga kini, di banyak desa, secara berkala masyarakat mengarak Barong Landung untuk menangkal bencana.
Barong Ket atau Barong Keket adalah barong yang sosoknya menjulang tinggi. Sosoknya menyerupai manusia dengan tinggi dua kali tinggi badan orang dewasa. Sosok laki-laki dinamakan Jero Gede, sedangkan pasangannya disebut Jero Luh. Konon, barong jenis dibuat untuk mengelabui mahluk-mahluk halus yang menebar bencana.
Barong Ket adalah tari Barong yang paling banyak terdapat di Bali dan paling sering dipentaskan. Barong ini juga memiliki pebendaharaan gerak tari yang paling lengkap. Dari wujudnya, Barong Ket merupakan perpaduan bentuk antara singa, macan,sapi dan naga. Badan Barong Ket dihiasi dengan kulit berukiran rumit dan ratusan kaca cermin berukuran kecil. Kaca-kaca cermin itu bagai permata dan tampak berkilauan ketika tertimpa cahaya. Bulu Barong Ket terbuat dari kombinasi perasok (serat daun tanaman sejenis pandan) dan ijuk. Ada pula yang mengganti ijuk dengan bulu burung gagak.
Barong Ket ditarikan oleh dua orang penari yang disebut Juru Saluk atau Juru Bapang. Juru Bapang pertama menarikan bagian kepala, Juru Bapang yang lainnya di bagian ekor. Biasanya Barong Ket ditarikan berpasangan dengan Rangda, yaitu sosok seram yang melambangkan adharma (keburukan). Barong Ket sendiri dalam tarian tersebut melambangkan dharma (kebajikan). Pasangan Barong Ket dan Rangda melambangkan pertempuran abadi andara dua hal yang berlawanan (rwa bhineda) di semesta raya ini. Tari Barong Ket diiringi dengan gamelan Semar Pagulingan.
adalah barong yang menyerupai babi dewasa. Di Bali, babi dewasa jantan dinamakan bangkal, sedangkan yang betina dinamakan bangkung. Itu sebabnya barong jenis ini disebut juga dengan Barong Bangkung. Biasanya Barong Bangkal dipentaskan dengan cara ngelelawang atau menari dari pintu ke pintu berkeliling desa pada saat perayaan hari raya Galungan-Kuningan. Barong ini ditarikan oleh dua orang penari dengan iringan gamelan batel/tetamburan.
Barong Landung ditarikan oleh satu orang. Ada sebuah lubang di bagian perut barong sebagai celah pandangan sang penari. Di beberapa tempat di Bali ada juga Barong Landung yang tidak sepasang. Barong-barong tersebut diberi peran seperti Mantri (raja), Galuh (permaisuri), Limbur (dayang) dan sebagainya. Musik pengiring tarian Barong Landung adalah Gamelan Batel. Melihat Barong Landung, kamu mungkin teringat dengan Ondel-ondel. Ya, barong ini sangat mirip dengan tarian khas Betawi itu.
Seperti namanya, barong ini menyerupai seekor Harimau. Jenis barong ini cukup terkenal di kalangan masyarakat Bali. Pementasan barong ini sama dengan barong bangkal, yakni ngelawang berkeliling desa. Adakalanya pementasan barong ini dilengkapi dengan dramatari semacam Arja (opera tradisional Bali). Barong macan ditarikan oleh dua penari dengan iringan musik gamelan batel.
Barong Kedingkling disebut juga Barong Blasblasan. Ada juga yang menyebutnya barong Nong nong Kling. Secara bentuk, barong jenis ini berbeda jauh dengan barong jenis lainnya. Barung ini lebih menyerupai kostum topeng yang masing-masing karakter ditarikan oleh seorang penari. Tokoh-tokoh dalam barong Kedingkling persis dengan tokoh-tokoh dalam Wayang Wong. Saat menari, cerita yang dibawakannya pun adalah lakon cuplikan dari cerita Ramayana terutama pada adegan perangnya. Pementasan barong kedingkling ini biasanya dilakukan dengan ngelawang dari rumah ke rumah berkeliling desa pada perayaan hari Raya Galungan dan Kuningan. Pertunjukan Barong Kedingkling diiringi dengan gamelan batel atau babonangan (gamelan batel yang dilengkapi dengan reyong). Barong Kedingkling banyak terdapat di daerah Gianyar, Bangli dan Klungkung.
Barong Gajah tentu saja menyerupai Gajah. Barong ini ditarikan oleh dua orang. Karena barong ini termasuk jenis yang langka dan dikeramatkan, masyarakat Bali pun jarang menjumpai barong jenis ini. Sekali waktu, pada saat-saat khusus, barong ini dipentaskannya secara ngelewang dari pintu ke pintu berkeliling desa dengan iringan gamelan batel atau tetamburan. Barong Gajah terdapat di daerah Gianyar, Tabanan, Badung dan Bangli.
Barong Asu menyerupai anjing. Sama seperti Barong Gajah, Barong Asu juga termasuk jenis barong yang langka. Barong ini hanya terdapat di beberapa desa di daerah Tabanan dan Badung. Biasanya dipentaskan dengan berkeliling desa (ngelelawang) pada hari-hari tertentu dengan iringan gamelan batel atau tetamburan atau Balaganjur.
Barong Brutuk termasuk jenis tarian langka yang ditarikan hanya pada saat-saat khusus. Barong ini memiliki bentuk yang lebih primitif dibandingkan dengan jenis barong Bali yang lain. Topeng barong ini terbuat dari batok kelapa dan kostumnya terbuat dari keraras atau daun pisang yang sudah kering. Barong ini melambangkan makhluk-makhluk suci (para pengiring Ida Ratu Pancering Jagat) yang berstana di Pura Pancering Jagat, Trunyan. Penarinya adalah remaja yang telah disucikan, yang masing-masing membawa cambuk yang dimainkan sambil berlari-lari mengelilingi pura.
Barong yang ditarikan dengan iringan gamelan Balaganjur atau Babonangan ini hanya terdapat di daerah Trunyan-Kintamani, Bangli.
Barong Singa adalah salah satu dari lima barong tradisional. Di Bali, setiap daerah di pulau itu memiliki roh pelindung sendiri untuk hutan dan tanahnya. Masing-masing roh pelindung ini digambarkan dalam bentuk satwa tertentu, antara lain:
Singa barong sebagai banaspati raja yang berarti raja hutan, adalah manifestasi Barong yang paling banyak, yang menjadi simbol roh baik, hiasan kepala menggunakan sekar taji yang terbuat dari ukiran kulit dan diiris dengan prada dan ditambahkan dengan beberapa hiasan cermin kecil.[6]
Barong Bangkal atau Barong Celeng adalah babi tua di Bali dan dianggap sebagai binatang mitos yang memiliki kekuatan. Itu terbuat dari kain beludru. Diarak pada liburan Galungan dan Kuningan.[6]
Barong Macan berbentuk seperti harimau yang hidup di hutan, bulunya menyerupai bulu harimau yang terbuat dari kain beludru. Harimau adalah binatang mistis terkenal dalam cerita di Bali, terutama tantri.[6]
Barong Asu sangat sakral ada di Pacung, Buleleng. diarak terutama pada hari libur Galungan dan Kuningan.[6]
Bentuknya menyerupai gajah dari India. Barong diarak keliling desa pada hari libur Galungan dan Kuningan.[6]
Barong landung memiliki bentuk yang berbeda dengan barong di Bali. Barong ini tidak ditarikan oleh 2 penari seperti pada umumnya, barong ini bermanifestasi seperti dua boneka pria dan wanita, yang disebut Jero Luh (perempuan) dan Jero Gede(Laki-laki), bentuknya mirip dengan Ondel-ondel Betawi.[6]
Barong berbentuk naga atau ular.
Suku Bali (bahasa Bali: ᬳᬦᬓ᭄ᬩᬮᬶ, translit. anak Bali; disebut juga wong Bali atau krama Bali) adalah suku bangsa mayoritas di pulau Bali, yang menggunakan bahasa Bali dan mengikuti budaya Bali. Menurut hasil Sensus Penduduk Indonesia 2010, ada kurang lebih 3,9 juta orang Bali di Indonesia.[1] Sekitar 3,3 juta orang Bali tinggal di Provinsi Bali dan sisanya terdapat di Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tengah, Lampung, Bengkulu dan daerah penempatan transmigrasi asal Bali lainnya.[1]
Asal usul suku Bali terbagi ke dalam tiga periode atau gelombang migrasi:
Kebudayaan Bali terkenal akan seni tari, seni pertujukan, dan seni ukir. Miguel Covarrubias mengamati bahwa setiap orang Bali layak disebut sebagai seniman, sebab ada berbagai aktivitas seni yang dapat mereka lakukan—terlepas dari kesibukannya sebagai petani, pedagang, kuli, sopir, dan sebagainya—mulai dari menari, bermain musik, melukis, memahat, menyanyi, hingga bermain lakon. Dalam suatu desa yang bobrok sekalipun dapat dijumpai sebuah pura yang indah, pemain gamelan andal, dan bahkan aktor berbakat. Bahkan sesajen yang dibuat wanita Bali memiliki sisi artistik pada jalinan potongan daun kelapa dan susunan buah-buahan yang rapi dan menjulang. Menurut Covarrubias, seniman Bali adalah perajin amatir, yang melakukan aktivitas seni sebagai wujud persembahan, dan tidak peduli apakah namanya akan dikenang atau tidak. Seniman Bali juga merupakan peniru yang baik, sehingga ada pura yang didekorasi dengan ukiran menyerupai dewa khas Tionghoa, atau dihiasi relief kendaraan bermotor, yang mereka contoh dari majalah asing.
Gamelan merupakan bentuk seni musik yang vital dalam berbagai acara tradisional masyarakat Bali. Setiap jenis musik disesuaikan dengan acaranya. Musik untuk piodalan (hari jadi) berbeda dengan musik pengiring acara metatah (mengasah gigi), demikian pula pernikahan, ngaben, melasti, dan sebagainya. Gamelan yang beraneka ragam pun disesuaikan dengan berbagai jenis tari yang ada di Bali. Menurut Spies, seni tari membuat utuh kehidupan masyarakat Bali sekaligus menjadi elemen penting dalam serangkaian upacara adat maupun pribadi yang tidak ada habisnya.
Sebagaimana di Jawa, suku Bali juga mengenal pertunjukan wayang, tetapi dengan bentuk wayang yang lebih menyerupai manusia daripada wayang khas Jawa. Suku Bali juga memiliki aspek-aspek unik yang terkait dengan tradisi religius mereka. Kehidupan religius mereka merupakan sinkretisme antara agama Hindu-Buddha dengan tradisi Bali.
Sebagian besar suku Bali beragama Hindu. Sebanyak 3,2 juta umat Hindu Indonesia tinggal di Bali,[1] dan sebagian besar menganut kepercayaan Hindu aliran Siwa-Buddha, sehingga berbeda dengan Hindu India.
Para pendeta dari India yang berkelana di Nusantara memperkenalkan sastra Hindu-Buddha kepada suku Bali berabad-abad yang lalu. Masyarakat menerimanya dan mengkombinasikannya dengan mitologi pra-Hindu yang diyakini mereka.[9] Suku Bali yang telah ada sebelum gelombang migrasi ketiga, dikenal sebagai Bali Aga, sebagian besar menganut agama berbeda dari suku Bali pada umumnya. Mereka mempertahankan tradisi animisme.
Eksistensi kepercayaan suku Bali tak lepas dari campur tangan serta dukungan pemerintah kolonial Belanda, beberapa naturalist, elit Bali dan masyarakat Belanda. Pemerintah kolonial melarang misionaris beroperasi di Bali pada 1881. Pada 1924, misi Katolik Roma ke Bali ditolak elite Bali dan pegawai kolonial mendukung hal itu. Selain itu, misionaris Protestan Belanda yang mau masuk ke Bali pada 1931 juga ditentang.[10]
Setelah beberapa kali dilakukan penolakan, pada tanggal 11 November 1931 ketua Christian and Missionary Alliance (CMA), R. A. Affray, membaptiskan 12 orang Bali asli di Yeh Poh, sungai kecil dekat dusun Untal-untal di Desa Dalung. Dari sinilah sebagian suku Bali mulai menganut agama Kristen Protestan dengan gerejanya yaitu Gereja Kristen Protestan Bali (GKPB). Desa Blimbingsari di Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana adalah salah satu desa di mana penduduknya mayoritas suku Bali yang beragama Kristen.[11]
Suku Bali memiliki cara tersendiri dalam menamai anak-anak mereka. Dengan penamaan yang khas ini, masyarakat Bali dapat dengan mudah mengetahui kasta dan urutan lahir dari seseorang. Tidak jelas sejak kapan tradisi pemberian nama depan ini mulai ada di Bali. Menurut pakar linguistik dari Universitas Udayana, Prof. Dr. I Wayan Jendra, S.U. Nama depan itu pertama kali ditemukan muncul pada abad ke-14, yakni saat raja Gelgel, yang saat itu bergelar "Dalem Ketut Kresna Kepakisan", yang merupakan putra keempat dari "Sri Kresna Kepakisan" yang dinobatkan oleh Mahapatih Majapahit, Gajah Mada, sebagai perpanjangan tangan Majapahit di Bali. "Dalem Ketut Kresna Kepakisan" kemudian dilanjutkan oleh putranya, yakni "Dalem Ketut Ngulesir". Namun, Prof. Jendra belum dapat memastikan apakah tradisi pemberian nama depan itu sebagai pengaruh Majapahit atau bukan. Tetapi, hal ini telah menjadi tradisi di Bali dan hingga akhir abad ke-20, masyarakat Bali pun masih menggunakannya.
Sistem kehidupan masyarakat Bali disebut Wangsa berbeda dengan catur warna di Weda, wangsa yaitu sistem kekeluargaan yang diatur menurut garis keturunan. Meski saat ini tidak lagi diberlakukan secara kaku sebagaimana pada masa lampau, tetapi dalam beberapa hal masih dipertahankan. Misalnya dalam tradisi upacara adat dan perkawinan masih dikenal pembedaan berdasarkan galur keturunan leluhur yang mengarah pada wangsa di masa lalu.
Sistem wangsa ini bermula pada abad XIV saat Kerajaan Bali ditundukkan oleh Majapahit. Pada mulanya wangsa ini dibuat dan dimaksudkan untuk membedakan antara kaum penguasa asal Majapahit dari Jawa yang diberi kuasa memerintah di Bali, dengan masyarakat lokal yang ditaklukkan. Mereka dan keluarganya yang berasal dari Majapahit meski berjumlah minoritas, tetapi memegang penuh semua urusan kehidupan bernegara. Mereka membentuk sendiri strata sosial kelas atas yang berpuncak pada Dinasti Kepakisan, yang berasal dari Majapahit.
Mereka menguasai seluruh Pulau Bali dengan membagi kekuasaan di antara mereka, para panglima dan keturunannya. Para raja, bangsawan, pendeta, pembesar Keraton, punggawa militer, abdi Keraton, beserta keluarga mereka yang berasal dari Jawa (Majapahit) menciptakan 3 kelas teratas untuk kalangan mereka.
Sistem wangsa ini pada awalnya juga dibuat sebagai alur pembagian profesi yang berhak diturunkan kepada generasi penerusnya dan tidak boleh diambil oleh wangsa lainnya. Selain itu juga berlaku dalam upacara keagamaan sesuai kedudukan wangsa mereka, terkait besar upacara dan jumlah sesajen yang diwajibkan kepada mereka. Dalam praktiknya diberlakukan pula pada perkawinan, di mana wanita yang berasal dari tri wangsa menikahi pria dari jaba akan kehilangan hak wangsanya serta keturunannya. Begitu juga sebaliknya, para istri diberikan hak naik Wangsa dengan upacara adat pada Wangsa suaminya. Wanita yang telah naik Wangsa karena perkawinan ini kemudian disebut Jero. Seluruh keturunan sah mereka berhak menyandang wangsa yang sama dengan ayahnya sesuai aturan Paternalisme.
Sistem wangsa ini masih kuat dipertahankan dalam sistem penamaan masyarakat Bali. Mereka memberikan awalan nama yang menunjukkan wangsa keluarga mereka.[12] [13]
Para wanita Bali bergotong-royong saat menyambut hari raya.
Raja Buleleng, Gusti Ngurah Ketut Jelantik beserta putrinya.
Para pandai besi di Bali (awal abad ke-19).
Wikimedia Commons memiliki media mengenai
Kalender Bali adalah sistem penanggalan yang digunakan oleh orang Hindu Bali di pulau Bali dan Lombok. Kalender Bali bisa dianggap unik sebab kalender Saka Bali adalah penanggalan "konvensi". Tidak mutlak astronomis seperti kalender Hijriyah, tetapi tidak pula seperti kalender Jawa, tetapi 'kira-kira' ada di antara keduanya.
Kalender Saka Bali tidak sama dengan Kalender Saka dari India, tetapi kalender Saka yang sudah dimodifikasi dan diberi tambahan elemen-elemen lokal.
Kalender Saka Bali bisa dikatakan merupakan penanggalan matahir-bulan atau luni-solar. Jadi penanggalan ini berdasarkan posisi matahari dan sekaligus bulan. Dikatakan konvensi atau kompromistis, karena sepanjang perjalanan waktunya masih dibicarakan bagaimana cara perhitungannya.
Dalam kompromi sudah disepakati bahwa: 1 hari candra = 1 hari surya. Kenyataannya 1 hari candra tidak sama dengan panjang dari 1 hari surya. Untuk itu setiap 63 hari (9 wuku) ditetapkan satu hari-surya yang nilainya sama dengan dua hari-candra. Hari ini dinamakan pangunalatri. Hal ini tidak sulit diterapkan dalam teori aritmetika. Derajat ketelitiannya cukup bagus, hanya memerlukan 1 hari kabisat dalam seratusan tahun.[1]
Dalam 1 bulan candra atau sasih, disepakati ada 30 hari terdiri dari 15 hari menjelang purnama disebut penanggal atau suklapaksa, diikuti dengan 15 hari menjelang bulan baru (tilem) disebut panglong atau kresnakapsa. Penanggal ditulis dari 1 pada bulan baru, sampai 15 yaitu purnama, menggunakan warna merah pada kalender cetakan. Setelah purnama, kembali siklus diulang dari angka 1 pada sehari setelah purnama sampai 15 pada bulan mati (tilem) menggunakan warna hitam. Dalam perhitungan matematis, untuk membedakan warna, sering dipakai titi. Titi adalah angka urut dari 1 yaitu bulan baru, sampai 30 pada bulan mati. Angka 1 sampai 15 mewakili angka merah atau penanggal, 16 sampai 30 mewakili angka 1 sampai 15 angka berwarna hitam atau panglong.
Panjang bulan surya juga tidak sama dengan panjang sasih (bulan candra). Sasih panjangnya berfluktuasi tergantung kepada jarak bulan dengan bumi dalam orbit elipsnya. Sehingga kurun tahun surya kira-kira 11 hari lebih panjang dari tahun candra. Untuk menyelaraskan itu, setiap kira-kira 3 tahun candra disisipkan satu bulan candra tambahan yang merupakan bulan kabisat. Penambahan bulan ini masih agak rancu peletakannya. Inilah tantangan bagi dunia aritmetika. Idealnya awal tahun surya jatuh pada paruh-akhir sasih keenam (Kanem) atau paruh-awal sasih ketujuh (Kapitu), sehingga tahun baru Saka Bali (hari raya Nyepi) selalu jatuh di sekitar paruh-akhir bulan Maret sampai paruh-awal bulan April.
Tahun baru bagi Kalender Saka Bali, diperingati sebagai hari raya Nyepi, bukan jatuh pada sasih pertama (Kasa), tetapi pada sasih kesepuluh (Kadasa). Idealnya pada penanggal 1, yaitu 1 hari setelah bulan mati (tilem). Pada tahun 1993, Hari raya Nyepi jatuh pada penanggal 2, diundur 1 hari, karena penanggal 1 bertepatan dengan pangunalatri dengan panglong 15 sasih Kasanga. Sekali lagi kompromi diperlukan dalam perhitungan ini.
Sejak hari raya Nyepi, angka tahun Saka bertambah 1 tahun. Menjadi angka tahun surya Masehi dikurangi 78. Dengan demikian sasih- sasih sebelum itu berangka tahun Masehi minus 79. Hal ini akan terasa janggal bagi pengguna penanggalan Masehi, karena angka tahun sasih Kasanga satu tahun di belakang angka tahun sasih Kedasa, dan angka tahun dari sasih terakhir, Desta (Jiyestha) sama dengan angka tahun berikutnya untuk sasih pertama (Kasa).